Sabtu, 25 Februari 2012

TINGKAT PEMAHAMAN SUAMI ISTRI TERHADAP UNDANG - UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SERTA PENGARUH TERHADAP TINGKAT PERCERAIAN

TINGKAT PEMAHAMAN SUAMI ISTRI TERHADAP UNDANG - UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SERTA PENGARUH TERHADAP TINGKAT PERCERAIAN (Studi Kasus Di Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten Malang)
MARDIYAN RUDI H.

Abstract

Dalam kehidupan masyarakat khususnya pemahaman segala hukum sangatlah penting karna hukum sebagai sebuah aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi kehidupan manusia yang tidak lepas dari interaksi dengan lawan jenis dalam ikatan perkawinan, hal ini tentunya harus ada kesadaran mayarakat untuk paham terhadap hukum atau aturan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Banyak masyarakat yang masih beranggapan bahwa melangsungkan perkawinan hanya sebatas adanya ikatan laki-laki dan perempuan saja dalam pertalian rumah tangga. Pada hakekatnya pernikahan tidak hanya itu, adanya hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap pasangan suami istri dalam membina hubungan rumah tangga untuk mencapai keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Dalam al-qur?an dan as-sunnah sudah banyak teks yang mengatur tentang hal ini, begitu juga dalam konteks hukum Indonesia yang diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawian, serta negara juga mengatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang semua berisikan tentang apa dan bagaimana tentang hukum pernikahan serta hal apa sajakah yang menjadi konsekwensi setiap orang setelah menikah.
Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian skripsi ini ialah untuk mengetahui tingkat pemahaman hukum perkawinan Islam baik dalam al-qur?an maupun as-sunnah serta hukum perkawinan Indonesia yang ada dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta dampaknya terhadap perceraian suami istri di desa Kucur kecamatan Dau kabupaten Malang.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data observasi, wawancara / interview, dan dokumentasi. Sedangkan sumber data penelitian ini, peneliti memperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Dau Kab. Malang, Pembantu Petugas Pencatat Nikah (P3N) sebagai sumber data utama dan bahan pustaka serta dokumen sebagai sumber data pelengkap.
Setelah peneliti melakukan penelitian di Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten Malang, maka peneliti dapat mengetahui tingkat pemahaman pasangan suami istri terhadap hukum perkawinan Islam dalam konteks al-qur?an dan hadist serta hukum perkawinan Indonesia yang diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap tingkat perceraian pada pasangan suami istri. Serta upaya menekan jumlah perceraian yang terjadi dimasyarakat dengan melihat tingkat pemahaman terhadap Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, hukum perkawinan yang ada dalam al-qur?an dan hadits, pemahaman tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), pemahaman masyarakat terhadap tingkat keefektifan hukum-hukum perkawinan tersebut, pemahaman tentang tujuan perkawinan, pemahaman tentang hak dan kewajiban suami istri dalam menjalani rumah tangga, serta pemahaman tentang perceraian. Dalam hal ini juga mencatat bagaimana upaya KUA dan P3N dalam mensosialisasikan serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar memahami arti penting sebuah keutuhan rumah tangga. Peran yang lebih banyak dilakukan oleh P3N sendiri ialah memberikan penyuluhan kepada warga tentang masalah agama serta pentingnya rumah tangga tanpa harus diakhiri dengan perceraian, memberikan pengarahan dampak yang ditimbulkan akibat dari perceraian.

In life society, specially the understanding of laws is very important because the law is an order applying in the center of society. Particularly again human life which do not get out of interaction with opposite gender in matrimony, this matter must be awareness for the people to understand law applying in the center of society. Many societies which are still of opinion that is passing off marriage is only limited to existence of just men and woman tying in linkage of household. Actually, the essence of marriage is not only that, existence of rights and obligations which must be done by marriage couple spouse in constructing household to reach family which was sakinah, mawaddah wa rahmah. Al-Quran and sunah have many texts arranging this problem, so also in Indonesia?s law context which was be arranged in law of No.1 Year 1974 concerning marriage and also also arrange Islamic Law Compilations ( KHI), which all is comprising what and how about nuptials laws and also what matter which is become each consequence of everyone after marriage.
Target which was be wished to reach in this research is knowing understanding level of Islam conjugal right in Al-Qur'an or as-Sunah and also existing Indonesia conjugal right in Law of No.1 year 1974 connubial and Islamic Law Compilation ( KHI) and also the impact of to divorcion of marriage couple at Kucur village, subdistrict Dau, Malang East Java.
To reach the target of research, researcher use data collecting of observation, interview, and documentation. To reach this research data source, researcher got from KUA subdistrict Dau, Malang, especial data source was Assistant Of Marriage Writing Officer ( P3N) and book materials and also document as complement data source.
After researching in Kucur village, subdistrict Dau, Malang East Java. The researcher can know understanding level of marriage couple spouse to Islam conjugal right in context of al-qur'an and hadist and also Indonesia conjugal right which arranged in law of No.1 year 1974 concerning conjugal right and of Islamic Law Compilation ( KHI) to divorce level at marriage couple. And also strive to depress the amount of divorces that happened society by looking to mount of understanding law of No.1 Year 1974 connubial, existing conjugal right in and al-qur'an and hadits, understanding of Islamic Law Compilation ( KHI), understanding of society effectiveness level of conjugal right, understanding of marriage target, understanding of marriage couple rights and obligations in experiencing household, and also the understanding of divorce. In this case also note how effort of KUA and of P3N in socializing and also giving consoling to society to be comprehending important meaning a perfection of household. The role which is more conducted by P3N is giving consoling to citizen concerning about the household important and religion value without having to terminated with divorce, giving guidance of generated impact of divorce effect.
Keyword : Perkawinan, Perceraian dan Undang-undang

Problematika Pelaksanaan Upaya Hukum, Peninjauan Kembali Perkara Perceraian Pada Peradilan Agama

Oleh: Dr. Hj. Susilawetty, SH., MH
A. Pendahuluan
Secara realita suatu  peraturan perundang-undangan tidaklah selalu bersifat absolut, selama peraturan perundang-undangan tersebut hasil temuan dan rumusan manusia. Sering ditemui suatu peraturan perundang-undangan dianggap sudah tidak patut lagi untuk diterapkan baik karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya maupun karena faktor lain.  Dalam praktik ditemukan peraturan perundang-undangan dari  masa ke masa mengalami beberapa perkembangan dalam bentuk penyempurnaan dan perubahan. Bahkan sering terjadi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu dicabut atau sudah tidak berlaku lagi.
Pada kalangan ummat Islam, telah tertanam suatu keyakinan bahwa pengamalan terhadap hukum Islam merupakan satu keharusan, sebab jika tidak maka nilai akidahnya terancam padahal nilai ini menjadi pondasi dasar bagi umat Islam. Oleh karena itu maka tidak jarang terjadi gejolak masyarakat yang dipelopori oleh umat Islam jika mereka dihadapkan pada sesuatu gejala yang merongrong nilai-nilai pondasi ajaran Islam. Dan ketika timbul suatu ketentuan yang dianggapnya melanggar hukum Islam, umat Islam pada umumnya tidak hanya bersikap tidak bersedia mentaatinya namun juga mereka berusaha untuk  menentang dan merubah ketentuan tersebut setidak-tidanya mereka menganggap ketentuan tersebut tidak mengikat bagi dirinya.
Dalam konteks dimensi pemegang kekuasaan yang bertumpu pada sistem trias politika juga telah dilakukan suatu perubahan dengan dicanangkannya kekuasaan satu atap pada lembaga yudisial yang sebelumnya lembaga peradilan tingkat pertama dan banding memiliki dua induk. Saat ini Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi menjadi puncak dari semua lembaga peradilan yang berada di bawahnya.
Pernyataan satu atap tersebut dicanangkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor  21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.
Peradilan Agama yang selama ini bertumpu dalam hal organisasi, adminstrasi dan finansial pada Departemen Agama dialihkan sepenuhnya ke Mahkamah Agung sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor  21 Tahun 2004 bahwa: “Organisasi, administrasi dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Propinsi dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Lembaga peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung merupakan pranata penentu keputusan dalam memutuskan suatu permasalahan hukum yang dihadapkan kepadanya oleh pencari keadilan. Dalam bidang hukum acara  ditemukam upaya hukum banding dan kasasi bagi para pihak berperkara yang tidak merasa puas atas keputusan pengadilan.
Putusan Kasasi yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung merupakan putusan yang terakhir yang mengikat kepada para pihak berperkara,  dalam arti lain putusan tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap  (inkracht van Gewijsde), sebagai dinyatakan oleh . H.R.W. Gokkel dan N. Van Der Wal bahwa :
"Kekuatan mengikat pada suatu putusan mengandung arti bahwa pihak yang terkait dengan putusan harus mengakui kebenaran yang terkandung dalam putusan. Dalam istilah Latin putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dikatakan “ Res judicata pro veritate accipitur” (isi daripada suatu keputusan berlaku sebagai benar). (H.R.W. Gokkel dan N. Van Der Wal,  1986)
Namun dalam hukum acara juga dipersiapkan upaya hukum  terhadap suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu upaya hukum Peninjauan Kembali dan upaya hukum Derden Verzet (Mahkamah Agung,, 2008).
Yaitu perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan.   Disimak dari ketentuan yang mengatur tentang upaya hukum Peninjauan Kembali tidak ditemukan suatu pengecualian terhadap peradilan tertentu. Upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut berlaku pada semua perkara baik dalam sengketa perkara perdata maupun pidana. Dalam perkara perdata termasuk di dalamnya sengketa perkawinan dalam hal perceraian, baik putusan perceraian yang diputuskan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum maupun oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Meskipun pihak berperkara mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, namun menurut ketentuan hukum yang berlaku pada Pasal 66 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (sebagian telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009) tentang Mahkamah Agung bahwa: "Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan".
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jika seorang suami telah mendapatkan keputusan Pengadilan Agama yang amarnya mengizinkan suami untuk mengucapkan ikrar thalak di muka sidang, maka suami tersebut tidak terhalang untuk mengucapkan ikrar thalak terhadap isterinya meskipun isterinya melakukan upaya hukum Peninjauan kembali.  Sementara jika seorang isteri telah diputuskan hubungan perkawinannya dengan suaminya oleh pengadilan dan putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka tentu tidak ada halangan bagi bekas isteri untuk menikah lagi dengan pasangan yang baru.
Dalam sengketa kepemilikan misalnya sengketa waris, jika permohonan peninjauan kembali dikabulkan akan mudah dipahami dan tidak banyak menghadapi masalah hukum dimana hak pihak yang dimenangkan dalam peninjauan kembali dikembalikan. Akan tetapi bagaimana jika putusan ternyata menyatakan bahwa hubungan antara pihak berperkara putus karena perceraian, tentu akan sulit mengembalikan bahwa kedua belah pihak harus kembali rukun sebagai suami isteri.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku tidak dijumpai adanya ketentuan yang mengatur tentang pembatalan perceraian. Jikapun suatu perceraian dibatalkan tentu pembatalan tersebut masih dalam kerangka pemeriksaan perkara dalam arti perceraian yang diputuskan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga bisa jadi putusan perceraian Pengadilan Agama dibatalkan oleh putusan pengadilan Tinggi Agama pada pemeriksaan tingkat banding,  putusan perceraian Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung pada pemeriksaan kasasi.
Dalam kenyataan dapat ditemukan suatu fakta bahwa seorang isteri yang gugatan cerainya dikabulkan kemudian setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap  dan setelah selesai masa iddahnya, ia menikah lagi dengan laki-laki lain dan bahkan ia telah hamil; jika mantan suami mengajukan permohonan peninjauan kembali dan permohonanya tersebut dikabulkan maka berarti mantan isteri  pemohon  peninjauan kembali harus kembali menjadi isterinya dalam status isteri orang lain dan telah mengandung dengan suami barunya itu.
Apabila putusan peninjauan kembali dapat dianggap membatalkan putusan dapat diartikan juga bahwa putusan tersebut dianggap menyatakan bahwa perkawinan antara mantan isteri tersebut dengan suami barunya putus karena perceraian. Hal tersebut tentu akan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana tersebut pada Pasal  38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan”.
Dalam perkara perceraian di pengadilan, pasangan suami isteri yang diputuskan perkawinannya merupakan pihak dalam perkara sehingga mereka dapat membela dan mempertahankan hak-haknya sampai upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali.
Peninjauan kembali termasuk didalamnya bagi putusan perceraian yang menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama mempunyai dua alternatif utama yaitu : permohonan peninjauan kembali dikabulkan atau ditolak. Jika permohonan peninjauan kembali ditolak maka putusan yang telah  mempunyai kekuatan hukum tetap   tidak menimbulkan persoalan.  Namun jika permohonan peninjauan kembali dikabulkan, akan terjadi persoalan yang akan berbenturan tidak hanya dengan fakta sebagaimana dijelaskan di atas juga akan berbenturan dengan Hukum Islam. Dalam hukum Islam maupun ketentuan lainnya tidak pernah memaksakan pasangan suami isteri yang telah bercerai dibatalkan perceraiannya dan bekas pasangan suami isteri yang sudah tidak saling mencintai dipaksakan untuk tetap sebagai pasangan suami isteri.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut diatas penulis bermaksud melakukan penelitian lebih mendalam dengan fokus masalah sebagai berikut:
1.        Bagaimana ketentuan hukum tentang perceraian yang sudah sah dilaksanakan menurut hukum Islam Indonesia dibatalkan  berdasarkan upaya hukum peninjauan kembali ?
2.        Masalah-masalah apa yang timbul pada kasus perceraian apabila dikaitkan dengan upaya hukum peninjauan kembali ?
3.        Apakah upaya hukum peninjauan kembali masih eksis diterapkan pada kasus perceraian ?
Untuk mencari jawaban dari permasalahan diatas dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah juridis normatif dengan melakukan pendekatan kualitatif, sedangkan sifat penelitian adalah deskritif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dan studi dokumen putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali. Data akan dianalisis dengan cara menggunakan analisis isi (content analysis) dan analisis kualitatif.
B. Perceraian Menurut Hukum Islam
Perceraian menurut ketentuan Hukum Islam secara umum cukup banyak tertuang dalam Kitab-kitab tradisional dan buku-buku yang membahas Hukum Islam. Perceraian jika diterjemahkan kedalam bahasa Arab disebut “ Al-Firqoh jamaknya Al-Firoq”.
Al-Firqoh secara bahasa berarti “Al-iftiroq yaitu pemisahan atau perpecahan yang jamaknya “Firoq” dan menurut istilah Al-Firoq adalah pelepasan tali perkawinan dan pemutusan hubungan antara suami isteri dengan adanya sebab dari beberapa sebab. (H.A. Nawawi Rambe, Jakarta 1994)
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa perceraian tidak hanya dilakukan atas keinginan seorang suami namun juga dapat terjadi atas keinginan isterinya hanya perceraian itu terjadi harus didasari oleh adanya sebab atau alasan yang dibenarkan oleh hukum. Seorang suami atau seorang isteri tidak begitu saja melakukan perceraian sebab bagaimanapun perceraian pada dasarnya menurut ketentuan hukum Islam tetap terlarang terkecuali didukung oleh alasan.
Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda yang artinya : “Thalak adalah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah”)
Dalam hadist lain Riwayat Ashabus-Sunnah yang dihasankan oleh Turmudzi yang artinya: “Dari Tsauban, bahwa rasulullah SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab, maka haram baginya bau syorga”. (Hadist Turmuzi)
Dari hadist-hadist tersebut diatas,  maka para ahli fiqih berselisih pendapat tentang hukum perceraian tersebut, namun pendapat yang paling banyak dan dianggap paling benar adalah bahwa perceraian itu hukumnya terlarang kecuali karena alasan yang benar.
Selanjutnya dilihat dari alasan terjadinya perceraian, maka hukum perceraian itu berfariasi mulai dari wajib sampai haram (Abu Bakr Jabir Al-Jaziri, Jakarta 2000) yaitu:
1.       Wajib apabila terjadi syiqoq (pertengkaran) antara kedua suami isteri, kemudian diutus dua orang pendamai (hakam) dan kedua pendamai tersebut gagal dalam usahanya dan tidak ada jalan lain selain perceraian;
2.       Makruh apabila  perceraian dilakukan tanpa adanya sebab yang mendesak;
3.       Mubah apabila perceraian karena antara pasangan suami isteri sudah tidak ada lagi kecocokan yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga;
4.       Sunah apabila isteri tidak dapat menjaga kehormatan dirinya dan tidak mau menerima nasehat dari suaminya;
5.       Haram apabila perceraian dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan haidl.
Pengertian bahwa perceraian itu adalah pelepasan tali perkawinan baik atas kehendak suami atau kehendak isteri dapat dilihat dari isyarat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqoroh ayat 229 yang artinya: ”Thalak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya hawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu hawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah Hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka ialah orang-orang yang zalim”.
Pengertian bahwa seorang isteri dapat menebus dirinya dipahami bahwa seorang isteri dapat memohonkan perceraian dengan cara mengeluarkan bayaran kepada suaminya agar suaminya dapat menceraikan dirinya, yang dalam bahasa Fiqih disebut “Khulu”.

C. Macam-macam Perceraian Menurut Hukum Islam

Dilihat dari akibat perceraian dan dikaitkan dengan ketentuan apakah perceraian tersebut dapat dilakukan rujuk atau tidak, maka perceraian dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu thalak raj’i dan thalak Bain. Menurut ketentuan hukum Islam bahwa: “Thalak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah”. (Republik Indonesia, Inpres No.1/1999)
Sedangkan thalak Bain terbagi kedalam dua macam, yaitu: thalak bain sugro dan talak bain kubro. Menurut ketentuan Hukum Islam bahwa: Thalak bain shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah” .Sedangkan “Thalak Ba’in Kubro adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya”.

Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jika suatu perceraian telah terjadi; seorang suami telah mengucapkan ikrar thalak terhadap isterinya dan perceraian tersebut jelas memenuhi persyaratan hukum Islam,  maka pengembalian hubungan perkawinan yang telah diputus tersebut hanya bisa dilakukan melalui suatu upaya hukum “ruju” atau “nikah baru”. Menurut ketentuan hukum Islam tidak ditemukan jalan lain selain kedua jalan tersebut.
Selanjutnya perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam, terdiri atas:
1.       Thalak
“Ta’rif  thalak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, yang dimaksud disini  melepaskan ikatan perkawinan”. (Sulaiman Rasyid, 1954)
Thalak adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak suami dengan cara mengucapkan ikrar thalaknya terhadap isteri yang diceraikannya tersebut.
Perceraian dalam bentuk thalak merupakan perceraian dalam kelompok thalak raj’i dalam arti jika sang suami yang telah menceraikan isterinya tersebut berkeinginan bersatu kembali dengan isteri yang telah diceraikan dapat ditempuh dengan melakukan upaya “rujuk” selama isteri yang diceraikan masih dalam tenggang waktu masa iddah. Apabila isteri telah habis masa iddahnya namun suami yang menceraikan tersebut ingin kembali lagi dengan isteri tersebut harus melakukan pernikahan baru.
Dari pengertian thalak tersebut dapat dipahami bahwa suatu thalak adalah perbuatan hukum yang terjadi melalui suatu proses sehingga diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan sahnya thalak tersebut adalah suami yang mukallaf, adanya ikatan pernikahan yang hakiki, dan sighat yang jelas.
Rukun-ruku talak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a.        Adanya ikatan perkawinan.
Dari pengertian bahwa thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, maka tentu thalak itu terjadi pada pasangan suami isteri yang telah terikat dalam perkawinan yang sah; tanpa ikatan perkawinan tentu tidak ada thalak; hal ini sebagaimana Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi dan ia menghasankannya yang artinya:
“ Tidak ada nazar bagi seseorang terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada pemerdekaan terhadap budak yang tidak dimilikinya dan tidak ada thalak baginya terhadap istri yang tidak dimilikinya”.
Dengan demikian meskipun pasangan suami isteri mengaku telah melakukan pernikahan dan mereka hendak bercerai maka terlebih dahulu harus diketahui secara jelas apakah perkawinan mereka sah menurut hukum atau tidak, jika tidak maka tidak perlu lagi adanya perceraian diantara mereka.
b.       Ada sighot thalak yang benar.
Tidak semua ucapan seorang suami kepada isteri mengandung pengertian thalak, sebab thalak adalah sesuatu yang mempunyai dampak yang tidak kecil bahkan didalamnya mengandung sesuatu yang bernilai sakral.
Rasulallah SAW bersabda yang artinya :
”Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umat-ku terhadap apa saja yang mereka bicarakan kepada dirinya sebagai mereka tidak mengucapkannya, atau selagi mereka tidak mengamalkannya”. (Muttafaq Alaih).

Sighot thalak dilihat dari sisi kalimatnya dapat berupa kalimat yang jelas (Sharih) dan dapat pula berupa kalimat sindiran (Kinayah). Sighot thalak yang jelas merupakan kalimat yang dengan jelas suami menyatakan thalak kepada isterinya, sementara kalimat sindiran, kalimat yang diucapkan hanya merupakan kalimat yang mengandung pengertian thalak di dalamnya, seperti kalimat: “kamu haram bagiku”. Hanya saja jika kalimat thalak termasuk dalam kalimat yang shorih maka akan dianggap sebegai thalak meskipun tanpa niat, sementara kalimat sindiran akan dianggap sebagai thalak jika diikuti dengan niat thalak.
c.        Dalam kondisi yang sadar.
Sebagaimana yang diungkapkan diatas, bahwa thalak bukanlah sesuatu yang sepele, sehingga jika seorang suami hendak menceraikan isterinya, maka suami tersebut harus benar-benar dalam kondisi yang sadar atau waras akal atau keinginan yang penuh, sehingga jika suami dalam kondisi gila, tidur atau dalam kondisi emosional, maka ucapan thalaknya tidak dianggap sebagai thalak. Hal tersebut sebagaimana Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Hakim yang artinya:
“Tidak ada pembebasan dan thalak dalam kondisi emosional” (Maktabah Syamilah)
Dari tiga persyarat sighot thalak tersebut, dapat dipahami bahwa proses terjadinya thalak menurut fiqih Islam melalui sesuatu jenjang dan persyaratan tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam bahwa “ Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal  129,130 dan 131”
d.       Adanya dua orang saksi yang adil.
Perbuatan hukum yang disebut thalak merupakan perbuatan yang tidak hanya berakibat hukum kepada pasangan suami isteri yang bercerai namun juga jelas menimbulkan pengaruh kepada pihak lain, dan karenanya tindakan hukum thalak tidak dibenarkan hanya dilakukan secara rahasia, namun harus disaksikan minimal oleh dua orang saksi yang adil. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat At-Thalak ayat 2 yang artinya :
“Apabila (isteri-isteri) telah sampai batas iddah mereka, maka peganglah mereka dengan baik atau ceraikan mereka dengan baik dan persaksikanlah kepada dua orang laki-laki yang adil diantara mereka dan tegakkanlah persaksian itu ..”
Dari persyaratan sahnya suatu perceraian thalak menurut ketentuan hukum Islam dapat diketahui bahwa proses perceraian thalak yang terjadi pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama telah memenuhi persyaratan hukum Islam. Persyaratan adanya ikatan perkawinan telah menjadi syarat pembuktian utama bagi seorang suami yang akan menceraikan isterinya di muka sidang dan bahkan jika ternyata suami tersebut tidak mempunyai bukti sahnya perkawinan karena perkawinannya dilakukan secara di bawah tangan maka majelis hakim dibenarkan untuk memeriksa sahnya perkawinan  tersebut dalam suatu pemeriksaan khusus.
Persyaratan kedua bahwa ikrar yang diucapkan harus dalam kondisi sadar jelas tergambar dalam pemeriksaan dimuka sidang, sebab jika seorang suami yang akan menceraikan isterinya dalam kondisi tidak waras maka tentu ia tidak bisa mengajukan permohonan kepada pengadilan dan jika ia tidak dapat hadir di muka sidang dalam sidang penyaksian ikrar thalak ia harus menguasakan kepada orang lain dengan suatu kuasa yang tertuang dalam Akta Otentik; hal itu merupakan gambaran ketelitian pemeriksaan di muka sidang untuk terciptanya hasil pemeriksaan yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Kemudian tentang syarat adanya saksi, jelas bahwa sidang penyaksian ikrar thalak dilakukan pada suatu pemeriksaan majelis hakim yang terdiri dari tiga hakim ditambah dengan seorang panitera pengganti yang bertindak sebagai saksi dalam pengucapan ikrar thalak tersebut.
Setelah seorang suami mengucapkan ikrar thalaknya di muka sidang menurut ketentuan hukum Islam, maka pasangan suami-isteri tersebut telah sah menurut hukum bahwa hubungan perkawinan mereka telah diputuskan lewat perceraian dan tidak dapat dikembalikan sebagai pasangan suamai isteri selain melalui prosedur dan tata cara menurut ketentuan hukum Islam, yaitu melalui proses rujuk atau pernikahan baru.
2.       Khulu’
Pengertian khulu’ secara bahasa berarti : ‘meninggalkan’. Sedangkan ‘Khulu’ menurut istilah Ilmu Fiqih berarti  “menghilangkan atau mengurungkan aqad nikah dengan kesediaan isteri membayar “iwadl” (ganti rugi) kepada pemilik aqad nikah itu (suami) dengan menggunakan perkataan “cerai atau khulu”.
Dengan adanya penebusan dalam proses thalak tersebut, maka khulu’ disebut juga dengan istilah “thalak tebus; artinya thalak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak isteri kepada suami.
Pengertian khulu sebagai thalak tebus didasarkan kepada hadits riwayat Bukhori dan Nasa’i dari Ibnu Abbas: “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata yang artinya :
“Saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW: ‘ Maukah kamu mengembalikan kebunya (Tsabit, suaminya) ?. Jawabnya: “Mau, Maka Rasulullah bersabda: “terimalah (Tsabit) kebun itu dan thalaklah ia satu kali” (H.A. Nawawi Rambe)

Pada dasarnya yang memiliki hak cerai itu adalah suami, maka jika perceraian dilakukan atas dasar keinginan isteri diperlukan beberapa syarat yaitu antara lain adalah:
a.        Pembayaran yang diberikan oleh isteri disetujui oleh sang suami.
b.       Penyebabnya terutama karena isteri khawatir tidak dapat menjalankan hukum Allah dalam kehidupan rumah tangga baik karena isteri sudah tidak lagi menaruh cinta kasih kepada suaminya tersebut atau karena suami memiliki cacad badan sehingga suami tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam hubungan suami-istri:

3.       Fasakh
Memfasakh akad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan perkawinan antara suami isteri. (Sulaiman Rasyid) Landasan hukum perceraian bentuk fasakh ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Zaid bin Ka’an yang artinya :
Rasulullah berkawin dengan seorang perempuan dari bani Ghifar, tatkala ia masuk kepada nabi, kemudian nabi melihat disebelah rusuknya terdapat warna putih (sopak), kemudian’ Nabi menolak (mengemabalikan) dia kepada keluarganya”)
Perceraian karena fasakh berbeda dengan perceraian dengan thalak atau khulu; perceraian karena fasakh lebih dikatakan sebagai pembatalan nikah karena adanya suatu sebab. Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa Nabi membubarkan perkawinannya dengan seorang perempuan dari bani Ghifar karena perempuan tersebut memiliki suatu penyakit lain yang menghalangi keharmonisan hubungan suami isteri seperti penyakit gila, kusta dan lain sebagainya.
Selain karena adanya penyakit tertentu, perceraian karena fasakh juga dapat terjadi karena salah seorang dari pasangan suami isteri murtad atau karena ternyata pasangan suami isteri tersebut memiliki hubungan yang dilarang melakukan perkawinan seperti saudara sesusuan dan lain sebagainya.

4.       Li’an
Kata Li’an berasal dari kata “La’n” yang berarti laknat. Perceraian karena li’an merupakan akibat dari tuduhan seorang suami kepada isterinya bahwa isterinya tersebut telah melakukan zina namun ia tidak dapat menghadirkan empat orang saksi dan suami tersebut berani bersumpah atas kebenaran tuduhannya. Dan jika suami tidak berani bersumpah dan tetap pada tuduhannya, maka sang isteri bersumpah atas kebohongan tuduhan suaminya tersebut.
Landasan yuridis cerai li’an adalah firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 6 yang artinya :
Dan orang-orang yang menuduh isteri-isterinya berzina padahal mereka tidak dapat mengajukan para saksi, kecuali dirinya sendiri maka kesaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dia tergolong orang-orang yang benar.”
Perceraian karena li’an tidak termasuk kepada kelompok perceraian thalak bain sugro atau bain kubro apalagi thalak raj’i, sebab dengan perceraian akibat li’an maka suami isteri tersebut putus perkawinanya untuk selama-lamanya.
5.       Zhihar
Zhihar berasal dari kata “Zhihar” artinya punggung. Namun menurut istilah fiqih Zihar adalah ucapan suami kepada isterinya dengan kata antara lain: Engkau dengan aku seperti punggung ibuku”. Dalam arti lain zihar adalah ucapan suami yang mengandung arti bahwa isterinya seperti ibunya.
Pada zaman jahiliyyah, zihar termasuk bagian dari thalak, lalu Islam datang membatalkannya dan menganggap zihar bukan bagian dari thalak, hanya saja suami yang telah menzihar isterinya wajib membayar kiffarat dan suami tersebut tidak dibenarkan berhubungan suami isteri dengan isterinya tersebut sebelum ia membayar kiffarat yaitu memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu, puasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Mujadalah, ayat 3-4 yang artinya:
“ Dan orang-orang yang menzihar isteri-isteri mereka, kemudian mereka mencabut kembali apa yang mereka katakan, maka hendaklah memerdekakan seorang budak perempuan, sebelum mereka sentuh menyentuh. Demikian nasehat kepada kamu sekalian tentang perkara ini. Dan Allah Maha tahu apa yang kamu kerjakan. Barang siapa tidak mampu, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum mereka sentuh menyentuh, barang siapa yang tidak mampu, hendaklah memberi makan enam puluh orang miskin”
Meskipun zihar bukan bagian dari thalak namun akibat dari zihar tersebut menyebabkan putus hubungan suami isteri sebelum suami yang menzihar isterinya membayar kiffarat.

6.       Thalak Ta’lik
Ucapan thalak pada umumnya berlaku seketika, namun adakalanya ucapan thalak digantungkan pada suatu syarat dengan dikaitkan pada waktu tertentu yang akan datang. Suami dalam menjatuhkan thalaknya digantungkan kepada suatu syarat, seperti ucapan suami kepada isterinya: ” Jika saya tidak memberikan nafkah kepada engkau tiga bulan berturut-turut, maka jatuhlah thalak satu saya kepadamu”. Thalak seperti itu disebut Thalak Ta’lik.
Dengan melihat proses terjadinya macam-macam perceraian diatas yang memerlukan syarat-syarat tertentu, maka perceraian baru dapat dinyatakan terjadi setelah jelas bahwa perceraian tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan terbukti kebenarannya.
Seorang suami yang menceraikan isterinya perlu diketahui apakah perceraian itu dilakukan dengan terpaksa atau tidak, ucapan thalaknya benar atau tidak; demikian juga seorang isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan cara bersedia membayar suaminya dengan iwadl tentu perlu diketahui terlebih dahulu besar iwadl dan apakah iwadlnya itu disetujui atau tidak oleh suaminya. Demikan juga perceraian akibat li’an yang harus didahului oleh proses tuduhan dan pemeriksaan saksi dan sumpah yang harus dilakukan pada suatu kondisi dan proses tertentu; demikian juga putusnya hubungan suami isteri akibat zihar perlu diketahui apakah ucapan suami tersebut termasuk zihar atau bukan, sehingga perlu diperiksa terlebih dahulu.
Dari hal-hal tersebut diatas, maka tepat jika proses suatu perceraian perlu melalui suatu lembaga yang mampu menentukan apakah perceraian yang akan dilakukan tersebut dibenarkan oleh hukum agama atau tidak. Berdasarkan alasan tersebut diatas dalam hukum Islam yang tertuang pada Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
D. Kewenangan Khusus Peradilan Agama
Kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan suatu perkara dapat terlihat pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah di rubah dengan Undang-undang Nomor  3 Tahun  2006, yaitu menyelesaikan sengketa antara orang-orang Islam; satu diantaranya adalah penyelesaian sengketa perkawinan  dan hal-hal yang berkaitan dengan sengketa perkawinan yang secara garis besar dalam kajian ini dikelompokkan pada tiga permasalahan yaitu : Perceraian, Penetapan Sahnya Pernikahan dan Akibat Perceraian.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian yang dilakukan diluar lembaga peradilan dinyatakan tidak sah menurut hukum. Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan hukum Islam jelas bahwa perceraian adalah sesuatu yang dilarang yang hanya dapat dilakukan jika tidak bercerai akan menimbulkan permasalahan bagi kedua pasangan suami isteri, dan karenanya perceraian tidak dibenarkan jika hanya didasarkan kepada emosional sepihak itupun hanya dapat dilakukan melalui proses peradilan.
Sebagaimana lazimnya suatu gugatan yang diajukan ke lembaga peradilan yang harus didasarkan kepada alasan yuridis, demikian halnya gugatan atau permohonan perceraian yang diajukan ke lembaga Peradilan Agama harus didukung oleh alasan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai pengadilan yudex facti, Pengadilan Agama yang memeriksa perkara perceraian bertugas menemukan fakta sesuai yang dikemukakan oleh para pihak berperkara dengan dasar posita permohonan atau gugatan yang tentu saja harus sesuai dengan hal-hal yang dapat dijadikan alasan perceraian menurut ketentuan yang berlaku.
Adapun hal-hal yang dapat dijadikan alasan diajukannya perceraian ke Pengadilan adalah:
a.        Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.       Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c.        Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.       Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e.        Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.         Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; (Peraturan Pemerintah UU No.1/1974)
Alasan hukum yang akan digunakan dapat bersifat alternatif dalam arti hanya satu alasan yang diajukan dan dapat pula kumulatif dalam arti dari alasan-alasan hukum yang  digunakan  lebih dari satu alasan. Alasan hukum perceraian sebagaimana tersebut di atas merupakan faktor-faktor utama yang  merusak kebahagiaan rumah tangga pasangan suami isteri sehingga jika salah satu pihak telah menentukan sikap sebagaimana alasan tersebut maka pihak lain dapat mengajukan permohonan/gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama.
Alasan perceraian yang bersifat umum adalah alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan ini memberikan peluang yang lebih luas  dari alasan sebelumnya. Dengan alasan pertengkaran dan perselisihan bisa terjadi hanya dengan alasan yang sepele sifatnya  justru menimbulkan perselisihan yang tajam. Kondisi rumah tangga yang diwarnai dengan perselisihan berkepanjangan tentu akan membawa ketidak tentraman kedua belah pihak dan karenanya alasan perselisihan tidak dapat dinilai siapa yang menjadi sumber perselisihan; meskipun sumber perselisihan tersebut terjadi akibat ulah atau sikap seorang suami tidak berarti suami tersebut tidak berhak untuk mengajukan permohonan talak demikian pula sebaliknya.

E.  Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Dalam perspektif ilmu hukum, upaya hukum merupakan salah satu substansi dari hukum formil (hukum acara), di mana upaya hukum merupakan salah satu upaya dari penegakan hukum. Sedangkan dalam perspektif praktik hukum, upaya hukum berkenaan dengan "suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang." (Mukti Arto, Yogyakarta 2007)
Menurut ketentuan Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana, telah berlaku kaidah umum bahwa suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap  tidak dapat dirubah apalagi dibatalkan. Akan tetapi dalam kenyataan tidak mustahil putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut mengandung suatu cacad hukum yang sebelumnya tidak diketahui oleh hakim yang memeriksa perkara, baik pada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding atau kasasi dengan mengingat bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak dapat menembus kebenaran secara hakiki; hakim bisa saja dibohongi oleh saksi-saksi pada saat pemeriksaan sidang, padahal saksi-saksi tersebut merupakan kunci penentuan suatu keputusan.
Oleh karena itulah, meskipun dalam HIR dan R.Bg. tidak dikenal lembaga Peninjauan Kembali, namun dalam RV telah dipersiapkan seperangkat aturan tentang lembaga Peninjauan Kembali yang dikenal pula dalam Hukum Acara sebagai lembaga “ Recuest Civiel”, yaitu suatu lembaga yang memberikan kesempatan untuk dibuka kembali pemeriksaan perkara yang telah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap. Lembaga Peninjauan Kembali juga dibenarkan dan dikembangkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu antara lain sebagaimana tertuang dalam Pasal 23 ayat (1)  Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa :”Terhadap  putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan  peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
Ketentuan normatif upaya hukum Peninjauan Kembali:
1. Adanya alasan  Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Seseorang yang berkepentingan dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan merasa dirugikan dengan putusan itu  mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali selama ia mempunyai alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali sebagai berikut:
a.        apabila  putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.       apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.        apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
d.        apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.        apabila antara  pihak-pihak yang  sama mengenai suatu  soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f.         apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (UU No. 5/2004)



Dari rumusan di atas, dipahami bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan adanya hal-hal  baru yang diketahui setelah putusan dijatuhkan sementara upaya hukum biasa telah lewat atau telah dilakukan akan tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan.
Dengan salah satu alasan atau lebih, pihak yang berkepentingan dalam hal ini termasuk perkara perceraian pada pengadilan Agama dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali melalui Pengadilan Agama yang memutus perkara pada tingkat pertama sekaligus dengan membayar biaya peninjauan kembali. Pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali meliputi perkara perceraian yang dijatuhkan dengan thalak raj’i, thalak bain sugro, thalak bain kubro dan termasuk thalak yang dijatuhkan dengan sumpah lian.
Dalam setiap persidangan upaya atau tindakan yang mengarah kepada pemalsuan fakta atau pemutarbalikkan fakta adalah sesuatu yang tidak jarang terjadi, sebab pihak-pihak berperkara berupaya keras untuk memenangkan perkaranya di pengadilan.
Pemutarbalikan fakta dalam sengketa perdata umum seringkali terjadi dan membuka kemungkinan yang luas termasuk didalamnya perkara perdata perkawinan yang mengarah kepada perceraian. Penggugat atau pemohon dengan kelihaian kata-kata atau dengan keberhasilan menghadirkan saksi-saksi palsu telah dapat mempengaruhi hakim sehingga fakta yang ditemukan dalam sidang berbeda dengan fakta yang sebenarnya misalnya dalam hal sumber permasalahan atau sumber kesalahan sehingga kesalahan diarahkan kepada tergugat atau termohon.
Pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum telah umum diketahui bahwa siapa yang salah dialah yang dikalahkan dalam suatu perkara. Berbeda pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terutama dalam sengketa perceraian; putusan hakim tidak didasarkan kepada siapa yang salah, akan tetapi sangat ditentukan dari fakta yang ditemukan apakah keharmonisan para pihak berperkara dalam rumah tangga sebagai pasangan suami isteri masih dapat dipertahankan ataukah sulit atau tidak mungkin dapat didamaikan.
Pada kasus perceraian ketika perkara telah melalui beberapa proses dari tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi dan dilanjutkan dengan upaya Peninjauan kembali yang didalamnya terjadi perdebatan antara para pihak berperkara jelas merupakan fakta yang tidak perlu pembuktian lagi (notoir) bahwa kedua belah pihak berperkara telah terjadi perselisihan yang sulit untuk didamaikan.
Dengan demikian jika ditemukan fakta tentang pemutarbalikkan fakta, hal itu tidak akan merusak alasan utama dari suatu perceraian.
2. Ditemukan novum yang lebih dominan  menunjukkan bukti kepemilikan yang selama persidangan bukti tersebut tidak ditemukan.
Dalam sengketa perdata umum, hal itu sering terjadi; berbeda dengan perkara sengketa perkawinan yang mengarah kepada perceraian jelas yang dipersoalkan bukan hal kepemilikan namun lebih menjurus kepada hal-hal yang mempunyai nilai abstark yaitu cinta kasih dan kebencian dua hal yang tidak bisa dipaksakan untuk diputarbalikkan, kebencian tidak bisa dipaksa untuk dirubah menjadi cinta kasih atau sebaliknya cinta kasih tidak bisa dipaksa untuk dirubah menjadi kebencian.
Dengan demikian maka dalam hal perkara sengketa perkawinan yang mengarah kepada putusnya hubungan perkawinan,  persyaratan formal Peninjauan Kembali dalam hal adanya novum baru akan sulit ditemukan. Berbeda jika novum tersebut terhadap fakta lain dari akibat perceraian seperti misalnya tentang penentuan harta bersama, hal itu bisa dimungkinkan terjadi. Dalam kaitan alasan ini juga tampak jelas bahwa upaya hukum peninjauan kembali sangat membantu menemukan kebenaran untuk mengembalikan pihak berperkara pada porsi yang sebenarnya; dengan adanya bukti baru yang ternyata benar maka pihak yang semula dikalahkan dalam suatu perkara yang jelas menjadi pihak yang teraniaya dapat dikembalikan haknya dan pada intinya hukum telah mampu menegakkan keadilan.
Salah satu syarat formal suatu gugatan atau permohonan adalah adanya suatu tuntutan atau permohonan dan bahkan tidak jarang tuntutan atau permohonan tersebut tidak hanya terdiri dari satu tuntutan atau permohonan namun dikumulasikan dengan tuntutan atau permohonan lainnya.
3. Peninjauan Kembali Tidak Menghentikan Eksekusi.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa jika putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap  maka eksekusi dapat dijalankan; namun tidak jarang dalam praktek ditemui suatu proses upaya hukum yaitu sebelum eksekusi dijalankan atau pada saat eksekusi dijalankan pihak berkepentingan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Dalam kondisi seperti itu, Pasal 66 ayat (2) Undang-undang Nomor  14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor  5 Tahun  2004 memberikan jawaban dengan ungkapan : “Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”.
Kalau Pasal 66 ayat (2) diperhatikan benar-benar bersifat “negasi”, dalam kata-kata “tidak” menangguhkan atau “tidak” menghentikan pelaksanaan putusan. Dari sudut pandangan yuridis, setiap yang bersifat “negasi” atau “larangan” adalah bersifat “imperative”. Jika demikian, permohonan Peninjauan Kembali secara mutlak tidak boleh menangguhkan atau menghentikan eksekusi”. (M. Yahya Harahap, 1993)
Perceraian yang diajukan oleh isteri dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan tersebut tidak memerlukan eksekusi, berbeda dengan putusan dalam perkara cerai thalak, maka meskipun tidak dalam arti eksekusi, namun masih diperlukan suatu proses pelaksanaan isi putusan melalui persidangan penyaksian pengucapan ikrar talak yang tidak boleh dihentikan walaupun pihak lawan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Problematika Pelaksanaan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Pada Perkara Perceraian di Peradilan Agama
Ketika suatu putusan pengadilan dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap  pada dasarnya putusan tersebut sudah final.
Kedua belah pihak berperkara secara yuridis harus menerima putusan itu dengan lapang dada terlepas dari suka atau tidak suka, kecewa atau merasa puas. Hanya saja dengan kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan maka setelah dilakukan upaya hukum biasa dimungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan dalam upaya hukum luar biasa yaitu upaya hukum Peninjauan Kembali yang tujuannya tidak lain untuk mencari kebenaran secara maksimal.
Suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap  dan ternyata dalam pemeriksaan upaya hukum peninjauan kembali diketemukan kekeliruan dan permohonan Peninjaan kembali dikabulkan maka dapat digambarkan dampak yang terjadi khususnya pada perkara perceraian pada Peradilan Agama sebagai berikut:
1. Khusus perkara perceraian tanpa sengketa  akibat perceraian.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, seorang suami atau isteri yang telah diputuskan hubungan perkawinannya dengan perceraian mereka dapat melakukan perkawinan baru dengan pihak lain. Apabila permohonan peninjaan kembali dikabulkan maka pasangan suami isteri tersebut secara yuridis kembali berposisi sebagai pasangan suami isteri yang sah, sehingga menimbulkan keadaan seorang isteri mempunyai dua suami yang sah dan atau seorang suami mempunyai dua isteri yang sah. Dari kondisi diatas, upaya hukum peninjauan kembali yang dikabulkan akan berdampak sebagai berikut :
a. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas hukum perkawinan yang  berlaku pada ketentuan peraturan perundang-undangan adalah asas monogami, seorang suami yang akan beristeri lagi atau beristeri lebih dari seorang tidak dibenarkan kecuali ia mendapat izin poligami dari pengadilan, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tidak ditemukan pasal yang menunjukkan bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali baik secara tekstual maupun kontekstual menunjukkan bagian dari upaya hukum terjadinya poligami yang dibenarkan.
Jika permohonan peninjauan kembali dilakukan oleh suami dan termohon Peninjauan Kembali (isteri) telah menikah lagi dengan laki-laki lain maka yang terjadi akan lebih jauh bertentangan tidak hanya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia namun secara umum bertentangan dengan ketentuan yang berlaku bagi seluruh ummat manusia yaitu seorang isteri mempunyai suami lebih dari seorang.
b. Bertentangan dengan Hukum Islam.
Dalam ketentuan hukum Islam sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pasangan suami isteri yang telah bercerai dapat kembali sebagai suami isteri dengan dua cara yaitu: dengan cara rujuk dan cara pernikahan baru; dengan memenuhi persyaratan rujuk dan persyaratan perkawinan baru. Jika permohonan Peninjauan Kembali dilakukan oleh suami sedangkan termohon Peninjauan Kembali telah menikah lagi dengan laki-laki lain maka yang terjadi tidak hanya bertentangan dengan hukum Islam namun menciptakan suatu kondisi baru yang melanggar hukum Islam yaitu seorang isteri dipaksa untuk hidup bersama dengan mantan suaminya yang telah bercerai dengannya.
c. Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Sikap suka atau tidak suka merupakan bagian dari hak asasi setiap manusia, tidak ada sumber sistem hukum apapun yang memaksa orang untuk menyukai atau membenci sesuatu. Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian yang dikabulkan merupakan bagian dari unsur pemaksaan agar seseorang menyukai sesuatu; seorang suami yang telah menceraikan isterinya dipaksa untuk mencintai mantan isterinya begitupula sebaliknya. Keputusan agar seorang yang sudah tidak lagi berkehendak berumah tangga dipaksa untuk menyatu dalam satu rumah tangga atau perkawinan dapat diartikan bahwa kedua belah pihak dipaksa untuk saling mencintai sebagai syarat utama sebuah perkawinan.
d.  Menciptakan pemborosan waktu dan ekonomi
Sebelum dan selama proses upaya hukum peninjauan kembali pihak berperkara membutuhkan waktu dan finansial terutama bagi Pemohon upaya hukum Peninjauan Kembali ditambah pula dengan tenaga dan energi pikiran selama proses upaya hukum itu berlangsung. Sementara upaya hukum Peninjauan kembali khusus dalam bidang perceraian pada dasarnya sangat jauh untuk dapat dikabulkan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Jika demikian maka lembaga upaya hukum Peninjauan kembali dalam bidang perceraian telah menciptakan suatu kondisi pemborosan waktu dan ekonomi termasuk pemborosan penggunaan tenaga dan energi yang tidak mambawa hasil.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut penulis, pelaksanaan upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh mengaburkan ketentuan hukum mengenai perceraian dalam Islam.
Dari kajian di atas jelas upaya hukum Peninjauan Kembali khusus dalam bidang perceraian tidak eksis diterapkan dalam percaturan hukum formil di Indonesia yang diselesaikan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sehingga diperlukan suatu ketentuan eksepsional bagi upaya hukum Peninjauan Kembali.  Hal ini sangat dimungkinkan dengan melihat bahwa hukum senantiasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial masyarakat sebagaimana telah terjadi pada perkembangan hukum di Indonesia pasca reformasi dewasa ini.
Namun pada putusan tentang sengketa harta bersama yang ternyata keliru menurut pemeriksaan pada upaya hukum peninjauan kembali maka jelas hal itu akan menunjukkan bahwa upaya hukum peninjauan kembali telah mampu menegakkan keadilan dan menemukan kebenaran formil dan meteriil. Harta yang semula ditetapkan sebagai harta bersama ternyata tidak terbukti sebagai harta bersama dengan adanya novum baru yang menunjukkan bahwa harta tersebut adalah harta bawaan salah satu pihak, atau harta milik pihak ketiga atau lain sebagainya yang menunjukkan bahwa harta tersebut bukan sebagai harta bersama. Putusan peninjauan kembali dalam hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum Islam namun hal ini tidak menimbulkan kondisi sebagaimana yang terjadi dalam putusan peninjauan kembali dalam bidang perceraian, oleh karena itu upaya hukum peninjauan kembali dalam hal sengketa harta bersama tetap eksis diterapkan.
Demikian halnya pada sengketa akibat perceraian lainnya seperti penentuan hak hadhanah dan nafkah anak, penentuan hak suami-isteri yang bercerai, penentuan sahnya anak dan lain sebagainya, kesemuanya memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan peninjauan kembali dalam rangka menegakkan keadilan dan menemukan kebenaran formil dan meteriil yang maksimal.

F.  Kesimpulan
Hukum Islam mengatur kembalinya hubungan suami istri yang telah bercerai berdasar putusan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum tetap hanya dapat dilakukan dengan cara rujuk dan nikah baru, oleh karena itu putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum Peninjauan Kembali;
Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertentangan dengan Hukum Islam, bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan hanya menciptakan pemborosan waktu dan ekonomi.
Upaya hukum peninjauan kembali dalam bidang khusus perceraian tidak eksis karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku sedangkan pada perkara-perkara yang merupakan akibat adanya suatu perceraian, upaya hukum Peninjauan Kembali masih eksis berlaku karena berkaitan dengan pemulihan atas putusan yang keliru dan hal tersebut telah sesuai serta tidak bertentangan dengan hukum Islam.
G.  Saran
Dengan ditemukannya fakta yuridis dan fakta permasalahan dalam hal upaya hukum Peninjauan Kembali khusus dalam bidang perceraian pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang tidak eksis diterapkan terkecuali dalam perkara-perkara sebagai akibat adanya perceraian maka diperlukan beberapa saran terutama dalam hal pembentukan dan perbaikan ketentuan yang selama ini masih berlaku yaitu sebagai berikut:
1.        Segera dilakukan amandemen atau revisi ketentuan yang berkaitan dengan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan cara penerapan ketentuan eksepsional bagi upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut;
2.        Sebelum ketentuan  eksepsional dilakukan maka diperlukan suatu ketentuan pengganti setidak-tidaknya berupa Surat Edaran dari Mahkamah Agung yang berisikan agar pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama tidak perlu menerima upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak berperkara jika upaya tersebut hanya semata-mata kepada putusan yang berisikan putusan perceraian tidak secara kumulatif dengan perkara lainnya.

TAMAT
Perkara Perceraian yang mengandung sengketa akibat perceraian
Kewenangan absolut Peradilan Agama dalam hal sengketa perkawinan tidak hanya menyelesaikan masalah perceraian semata, namun termasuk dalam sengketa perkawinan ini adalah sengketa-sengketa yang berkaitan erat dengan adanya suatu perkawinan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perkawinan tersebut termasuk di dalamnya hal-hal yang terjadi sebagai akibat dari putusnya suatu perkawinan. Penyelesaian tentang akibat perceraian ini tidak harus diajukan tersendiri setelah hubungan perkawinan antara suami isteri tersebut diputus karena perceraian oleh pengadilan. Dalam hal permohonan perceraian yang diajukan suami, permohonan akibat perceraian dapat diajukan oleh suami tersebut dikumulatifkan dengan permohonannya; hal itu dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana bunyi Pasal  66 ayat (5) Undang-undang Nomor  7 Tahun  1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor  3 Tahun  2006 yang menyatakan : “ Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai thalak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan” . Demikian juga dalam hal gugatan yang diajukan oleh isteri, gugatan tentang akibat perceraian tersebut dikumulatifkan dengan gugatannya; hal itu dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana bunyi Pasal  86 ayat (1) Undang-undang Nomor  7 Tahun b 1989 yang menyatakan : “ Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajuan bersama-sama dengan gugatan perceraian  ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap ”.
Ketentuan kumulasi gugatan atau permohonan ini menunjukkan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan diciptakan tidak hanya untuk menjaga ketertiban, kemanan dan jaminan hak-hak individual namun juga memberikan isyarat bahwa ketentuan tersebut juga mengutamakan efisiensi. Perkara yang diajukan kepada lembaga peradilan tidak hanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit namun juga memerlukan tenggang waktu yang relatip lama dan karenanya dengan adanya ketentuan kumulasi gugatan atau permohonan ini maka pihak berperkara dapat menghemat biaya dan memperkecil tenggang waktu yang diperlukan untuk memperoleh hak-hak individualnya.
Sengketa perkawinan berkenaan dengan penyelesaian harta bersama sangat terkait dengan apa yang dimaksudkan dengan harta bersama dalam istilah hukum adat dikenal dengan sebutan harta “gono-gini”. Tentang hal ini dengan jelas diungkapkan pada Pasal  35 ayat (1) Undang-undang Nomor  1 Tahun  1974 yang menyatakan bahwa : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama”. Selanjutnya pada ayat (2) pasal tersebut dijelaskan bahwa : “ Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sipenerima selama para pihak tidak menentuakn lain”. Dengan demikian maka sengketa harta bersama seringkali terkait dengan harta bawaan atau harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
Selanjutnya berkenaan dengan penguasaan anak dimaksud adalah hak merawat/mengasuh yang dalam istilah hukum Islam disebut hak “hadlanah”  dan hak untuk mewakili anak dalam melakukan tindakan hukum.
Meskipun menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut pada Pasal 105 hurup a dinyatakan bahwa “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”, namun tidak berarti secara mutlak sang bapak sudah tidak lagi mempunyai hak untuk merawat/memelihara anak-anaknya dengan mengingat bahwa menurut ketentuan Pasal 41 hurup a Undang-undang Nomor  1 Tahun  1974 dinyatakan bahwa “ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdesarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya”. Ketentuan tersebut sejalan pula dengan bunyi Pasal 26 Undang-undang Nomor  23 Tahun  2002 tentang Perlindungan Anak yang pada intinya menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Pasal tersebut tidak membedakan yang dimaksud orang tua tersebut apakah ibunya ataukah bapaknya.
Dengan demikian maka dalam hal hak pemeliharaan/perawatan anak, baik dari pihak berperkara maupun pertimbangan majelis hakim diutamakan penemuan fakta tentang kepentingan anak yang lebih terpenuhi yang bisa terjadi anak lebih aman dan sejahtera dan terjamin masa depannya jika berada di bawah asuhan ibunya atau dapat terjadi sebaliknya.
Sebagaimana perkara dalam hal pembagian harta bersama dan penetapan hak asuh anak. Begitu halnya perkara tentang biaya nafkah anak dapat dilakukan secara kumulatif dengan permohonan/gugatan perceraian baik diajukan oleh suami atau oleh isteri.
Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 41 hurup b Undang-undang Nomor  1 Tahun  1974 yang dinyatakan bahwa “ Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”. Bunyi pasal tersebut sejalan dengan bunyi Pasal 149 hurup d Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bilamana perkawinan putus karena thalak maka bekas suami berkewajiban untuk memberikan hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Dari bunyi Pasal 41 hurup d Undang-undang Nomor  1 Tahun 1974 jelas bahwa meskipun bapak pada dasarnya yang berkewajiban untuk memenuhi biaya nafkah anak, tidak berarti sang ibu dibebaskan dari kewajiban untuk memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anaknya.
Pasal tersebut menggambarkan bahwa nilai keadilan yang harus ditegakkan adalah tidak hanya keadilan commulatif akan tetapi juga keadilan distributif sebagiamana  konsep keadilan menurut Aristoteles. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tipa-tiap orang bagiannya menurut jasanya; keadilan yang tidak menentukan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan akan tetapi kesebandingan yang harus diperhatikan. (Soetikno)
Demikian dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi pada beberapa orang tentu tidak menyentuh rasa kedailan jika kewajian tersebut disamaratakan . Dalam konsep ajaran Islam, Allah SWT tidak memaksakan suatu kewajiban kepada hamba-Nya kecuali berdasarkan kemampuannya.
Kewajiban seorang suami kepada isteri yang diceraikannya berupa nafkah iddah, maskan dan kiswah serta mut’ah merupakan kewajiban yang melekat sebagai akibat suatu perceraian yang diajukan oleh seorang suami terhadap isterinya.  Kewajiban tersebut menjadi gugur jika ternyata bekas isteri dijatuhi telak bain atau nusuz dan dalam keadaan tidak hamil. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Hukum Islam sebagaimana tersebut pada Pasal 149 hurup a dan b Kompilasi Hukum Islam. Sementara bekas isteri  berkewajiban menjaga dirinya dan tidak menerima pinangan serta tidak menikah dengan prila lain dalam masa iddah  sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Hukum Islam Pasal 151 Kompilasi Hukum Islam.
Menurut ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor  1 Tahun 1974 bahwa “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sungguhpun demikian pada pasal lainnya yaitu Pasal  44 ayat (1) dijelaskan bahwa seorang suami  dapat meyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinahan tersebut.
Untuk penentuan sah atau tidaknya anak yang disangkal tadi, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Penyelesaian tentang sah atau tidaknya seorang anak dapat diajukan tersendiri oleh yang menyangkal sahnya anak tersebut atau dapat dikumulasikan dengan gugatan perceraian atau permohonan thalak.
Dalam kaitan pengingkaran anak ini, seorang suami yang mengingkari sahnya anak dapat meneguhkan pengingkarannya dengan sumpah lian di muka sidang.
Menurut ketentuan peraturan yang berlaku sebagaimana bunyi Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor  1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : “ Orang tua mewakili anak tersebut mengeni segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan”. Dan pada ayat (1) pasal tersebut dinyatakan : “ Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun  atau belum melangsungkan pernikahan ketika kedua orang tuanya masih terikat dalam perkawinan yang sah pada umumnya tidak menghadapai permasalahan serius dalam hal mewakili tindakan hukum anak tersebut, berbeda jika kedua orang tuanya telah bercerai maka  sedikit banyak akan terjadi permasalahan apalagi salah satu pihak dari kedua orang tua tersebut telah ternyata memiliki sikap atau perbuatan yang tidak terpuji yang merugikan kepentingan anak.
Alasan hukum yang dapat digunakan untuk permohonan pencabutan kekuasaan orang tua tersebut menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor  1 Tahun  1974 adalah sebagai berikut : "1. Sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; 2. Berkelakuan buruk sekali."
Sebuah putusan lembaga peradilan tidak jarang mengandung kekeliruan baik akibat kekhilapan hakim maupun akibat lain yang dapat dijadikan alasan bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Sebagai gambaran tentang upaya hukum peninjaan kembali pada perkara akibat perceraian   dapat dianalisa pada putusan upaya hukum peninjauan kembali dalam hal sengketa harta bersama.
Dari rumusan dan kajian di atas, maka jelas upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara-perkara yang merupakan akibat adanya perceraian tetap eksis diterapkan dalam percaturan hukum formil di Indonesia.  Hal ini sangat diperlukan dengan melihat bahwa upaya hukum peninjauan kembali tidak hanya telah mampu menegakan kebenaran dan keadilan namun juga tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Hukum Islam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar