Sabtu, 25 Februari 2012

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN QANUN JINAYAH (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Takengon)


 A. J U D U L:
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN QANUN JINAYAH
(Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Takengon)


B. DATA PELAKSANA PENELITIAN
           NAMA                                    : NASRIN SADMADI
           NIM                                        : 070100050
           Angkatan                                : 2007
           Program studi                          : Hukum Pidana
           SKS yang dicapai                   :        SKS
           Sudah /belum lulus semua      
Mata kuliah wajib                   : Sudah
             Alamat                                   : JL. Lintang Kp. Kala Kemili. Kec,Bebesen.
                                                             Kab. Aceh Tengah

 C. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Aceh, serta Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Darussalam dan yang terakhir Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin mengukuhkan untuk pemberlakuan Syari’at Islam secara khafah dalam segala aspek kehidupan masyarakat, yang sebagai pelaksanaannya telah dibuat beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang disebut dengan Qanun. Sejak tahun 2002 telah banyak qanun yang disahkan, di antara qanun-qanun tersebut terdapat sejumlah qanun yang memuat tentang pelaksanaan Syari’at Islam dalam konteks pidana atau juga disebut dengan Qanun Jinayah, Qanun-qanun tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Qanun No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam
2.      Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya
3.      Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian)
4.      Qanun no. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum)
5.      Qanun No. 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat
Qanun-qanun di atas memuat ketentuan-ketentuan pidana, salah satunya mencantumkan jenis ancaman pidana cambuk atau pidana badan, dan untuk menunjang pelaksanaan Syari’at Islam itu diperlukan adannya sebuah badan yang sesuai pula dengan Islam untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana atau perdata. Undang-Undang No.11 tahun 2006, Pasal 16 telah mengamanatkan pembentukan Peradilan Syari’at yang dinamakan dengan Mahkamah Syar’iyah. Dalam hal ini Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai peradilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai peradilan tingkat banding, sedangkan untuk tingkat kasasi ditangani oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan di atas masalah Pidana Islam (Jinayah) menjadi kian penting dan hal yang baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, serta merupakan kewenangan baru bagi Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh. Karena sebelumnya Mahkamah Syar’iyah tidak berwenang menangani kasus pelanggaran Syari’at Islam dalam bidang pidana, apalagi menjatuhkan hukuman seperti pidana cambuk atau pidana badan.
Di dalam sistem  peraturan perundang-undangan Indonesia pidana cambuk memang merupakan jenis pidana baru, dan masyarakat hanya memiliki pemahaman bahwa pidana cambuk merupakan pidana yang telah ditetapkan di dalam Islam, akan tetapi saat ini belum diketahui sejauhmana efektifitas hukuman cambuk apabila diterapkan bagi pelaku pelanggaran  qanun di bidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah Hukum Kota Takengon Propinsi Nanggroe Aceh  Darussalam. Berdasarkan hasil penelitian awal, terdapat beberapa perkara jinayah yang telah diterima dan diputus oleh Mahkamah Syar’iyah Takengon sejak tahun 2005 s/d 2009, seperti dalam tabel berikut ini;
Tabel 1
SANKSI PIDANA PELANGGARAN QANUN JINAYAH
SEJAK
TAHUN 2005 - 2010
PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH TAKENGON
NO
JENIS PIDANA
JUMLAH
KASUS
SANKSI PIDANA

KURUNGAN
DENDA
CAMBUK
1
KHAMAR
10
8
1
1
2
MAISIR
6
0
0
6
3
KHALWAT
16
0
0
16

JUMLAH
32
8
1
23




Sumber data:  Mahkamah Syari’ah Takengon
Data ini menunjukan bahwa kasus yang masuk dan di adili di Mahkamah Syar’iyah Takengon hanya pelanggaran dari tiga qanun, yaitu: Khamar, Maisir, dan Khalwat. Sedangkan dua qanun yang lain, yaitu Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, dan Pengelolaan Zakat, belum pernah dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah.
Data perkara jinayah yang sudah diputus sepanjang 2005 sampai dengan 2009 berjumlah 32 kasus, dengan rincian Khamar 10 kasus, Maisir 6 kasus dan Khalwat 16 kasus. Semua kasus tersebut diputus dengan jumlah ancaman pidana 8 kurungan, 1 denda dan 23 sanksi pidana cambuk, ini menggambarkan bahwa penjatuhan hukuman pidana cambuk lebih dominan dari pada ancaman pidana lainnya, seperti pada kasus khalwat contohnya semua kasus yang diputus penjatuhan pidana kesemuanya menjatuhkan  pidana cambuk.

      D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan adalah:
1.   Untuk mengetahui apa alasan Hakim Mahkamah Syar’iyah dalam menjatuhkan sanksi pidana cambuk?
2.      Untuk mengetahui bagaimanakah pengawasan Hakim terhadap putusan perkara-perkara Jinayah?
3.      Untuk mengetahui apa hambatan dan upaya penerapan sanksi pidana terhadap pelanggaran Qanun Jinayah?






    E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.   Pengertian Dan Tujuan Pidana Secara Umum
Definisi hukum pidana menurut ilmu pengetahuan, dapat diadakan beberapa penggolongan yaitu sebagai berikut:
1.      Hukum Pidana adalah hukum sanksi
Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma tersendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi hukum pidana diadakan untuk menguatkan ditatanya norma-norma tersebut.
2.      Hukum pidana dalam arti:
A. Objektif (jus poenale) meliputi:
1.   Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak;
2.   Ketentuan-ketentuan yang megatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penintentiare;
3.   Aturan-aturan yang menentukan kapan dan  dimana berlakunya  norma-norma tersebut diatas.
B.     Subjektif ( jus puniendi), yaitu:
Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
3. Hukum pidana dibedakan dan diberikan arti:
A. hukum pidana materil yang menunjukan pada perbuatan pidana (strfbare feiten) dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat di pidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian yaitu :
1.   bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau natalen yang bertentangan dengan hukum positif, melawan hukum, yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelenggarannya
2.   Sebagian subjektif yaitu mengenai kesalahan, yang menunjuk kepada sipembuat (dader) untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum.
B. hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana material dapat dilaksanakan.
4. hukum pidana diberikan arti bekerjanya sebagai :
a.      peraturan hukum, objektif ( jus poenale) yang dibagi menjadi :
(1). Hukum pidana materil yaitu peraturan tentang syarat-syarat manakah suatu itu dapat dipidana.
    (2). Hukum pidana formil, yaitu hukum acara pidananya.
b. hukum subjektif (juspuniendi) yaitu meliputi hukum dalam memberikan ancaman pidana, menetapkan pidana dan melaksanakan pidana, yang hanya dapat dibebankan kepada  negara  dan pejabat untuk itu.
c.    hukum pidana umum (alogemene strafrecht) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua orang dan hukum pidana khusus (bijonderestrafrecht) yaitu dalam betuknya sebagai jus speciale) seperti hukum pidana militer.[1]
­Hukum  pidana secara umum berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Tujuan pokok hukum pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan  kepada  khalak ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Beberapa sarjana juga berpendapat bahwa teori pembalasan merupakan dasar dan pembenaran pidana, tetapi dengan menjatuhkan pidana pembalasan itu, apa yang dapat dicapai pemerintah dengan pembalasan itu. Hukuman diterapkan meskipun tidak disenangi demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat.
Dengan demikian hukuman yang baik adalah:
a.    Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut Ibnu Hamman dalam fathul qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (prefentif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (repsesif).
b.      Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apa bila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan  masyarakat  menghendaki ringanya hukuman, maka hukumannya diperingan.
c.       Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk ihsan dan memberi rahmat kepadanya seperti seorang bapak memberikan pelajaran kepada anakya.
d.      Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh kedalam suatu maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang akan terjaga dari berbuat jahat apabila:
1.   Memiliki iman yang kokoh yang seperti dikatakan dalam Hadist nabi:
seseorang tidak melakukan zina ketika ia beriman”.
Hal ini berkaitan dengan kebersihan jiwa.
2.   Berahklak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan orang lain, atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.
3.   Dengan adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga seseorang , dari tejatuh kedalam tindak pidana. Disamping itu harus diusahakan menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz al-dzariah  (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan).[2]
            Menurut hasil penelitian dari ahli hukum Islam, tujuan Allah SWT membentuk hukum Islam ialah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia maupun diakhirat. Tujuan di maksud hendak dicapai melalui taklif. Taklif  itu baru dapat dilaksanakan apabila memahami sumber hukum Islam, kemudian tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari perbudakan hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam artian tunduk kepada ketentuanya.[3]
            Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukan bahwa kedatangan hukum Islam adalah untuk kemaslhahatan umat manusia, untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang terpeliharanya agama, jiwa , akal, keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib di pelihara oleh manusia. Untuk itulah kedatangan hukum Islam taklif yaitu perintah untuk berbuat, larangan untuk berbuat dan keizinan untuk berbuat yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.   Masing-masing lima pokok dimaksud dalam mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada klasifikasi menurut tingkat prioritasnya, yaitu kebutuhan dhururiyat, kebutuhan hijiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiga urutan prioritas kebutuhan tersebut harus terwujud dan terpelihara.
            Memelihara kebutuhan dhururiyat dimaksud agar perwujudan dan perlindungan atas lima lima pokok yang telah ddiuraikan yaitu agama, jiwa, akal, harta dan keturunan dapat terpelihara dalam batas jangan sampai terancam esistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak aka membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupu dalam pelaksanaanya, sedangkan kepicikan dan kesempitan itu dalam ajaran Islam perlu di singkirkan.[4]
2.  Jenis-Jenis Pidana
Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, jenis pidana dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan yaitu sebagai berikut :
a.      Pidana Pokok
1.       Pidana mati
2.      Pidana penjara
3.      Pidana denda
4.      Pidana tutupan
b.      Pidana Tambahan
1.      Pencabutan hak-hak tertentu
2.      Perampasan barang-barang tertentu
3.      Pengumuman putusan hakim
            Dalam rancangan  Kitap Undang-Undang Hukum Pidana RKUHP, juga dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan yaitu sebagai berikut :
a.      Pidana Pokok
1.      Pidana penjara
2.      Pidana tutupan
3.      Pidana pengawasan
4.      Pidana denda
5.      Pidana mati (khusus/alternatif)
b.      Pidana Tambahan
1.      Pencabutan hak-hak tertentu
2.      Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan pengumuman putusan hakim
3.      Pembayaran ganti kerugian
4.      Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau pemenuhan menurut hukum yang hidup.
Di dalam hukum Islam juga ada perbedaan  mengenai jenis tindak  pidana dan sanksi pidana yakni sebagai berikut :
a.      Hudud
Hukuman yang menjadi hak Allah hukuman yang ditentukan, ada tujuh kejahatan yang mencakup hukuman ini yaitu murtad, pemberontakan, zina, tuduhan palsu zina, pencurian, perampokan, dan minuman khamar.
b.      Qishash
Pada qishash yaitu integritas tubuh manusia,sengaja maupun tidak sengaja.
c.       Ta’zir
Landasan pada penentuan hukumannya didasarkan pada ijma’ (consensus) berkaitan dengan hak Negara mislim untuk melakukan kriminallisasi dan mengukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang mennyebabkan kerugian/ kerusakan fisik, social, politik financial, atau norma bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
d.      Sanksi Pidana dalam Hukum Islam
Ketentuan atau hukuman (pidana) dalam hukum islam dikenal dengan istilah “Uqubat”, ‘uqubat dijatuhkan  terhadap perbuatan  yang di lakukan oleh manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut dilakukan secara fisik atau nonfisik.

Al’qur’an menggambarkan ada beberapa jenis ‘uqubat ,di antaranya adalah:
a.    Penjara atau kurungan untuk orang perempuan yang melakukan musahaqahah;
b.    Cambuk, untuk orang yang melakukan zina dan menuduh orang berbuat zina(Qadzaf);
c.    Bunuh (pidana mati) untuk perampok yang membunuh dan pemberontak atau subversi;
d.   Potong tangan untuk pencuri;
e.    Bunuh (pidana mati) untuk pembunuhan berencana, kecuali dimaafkan oleh keluarga korban;
f.     Diat untuk pembunuhan tidak berencana dan penganiayaan (pelukaan);
g.    Al’qur’an juga mengunakan beberapa istlah lain untuk nenunjuk penghukuman seperti “disakiti” yang dipahami sama dengan cambuk untuk orang laki-laki yang melakukan liwath; diasingkan, atau dibuang yang oleh sebagian ulama dianggap sama dengan penjara untuk orang laki-laki yang melakukan liwath;[5]  
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Ada dua unsur tindak pidana yang harus dipenuhi untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana yaitu sebagai berikut:
a.       Unsur objektif (perbuatan) yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya.
b.      Unsur subjektif yaitu adanya perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat padahal yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang.
4. Teori-teori Pemidanaan.
Pemidanaan merupakan upaya terakhir dan puncak dari proses penegakan  hukum, penjatuhan pidana ini tidak bisa terlepas dari tugas hakim sebagai aparatur Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap siapa saja yang melanggar aturan hukum.
Dalam hal menjatuhkan dan menjalankan pidana yang mempunyai hak dan kewenangan untuk itu adalah Negara, karena Negara adalah organisasi sosial yang tertinggi, yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib atau ketertiban dalam masyarakat, dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu, maka wajar jika Negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana terhadap orang yang terbukti telah melanggar larangan dalam hukum pidana.
Mengenai teori-teori pemidanaan atau teori hukum pidana yang akan  diuraikan di sini adalah teori-teori pemidanaan yang dapat dijadikan dasar atau pijakan bagi negara melalui aparat penegak hukumnya dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana agar tujuan pidana dapat tercapai sebagaimana mestinya. teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori yaitu:[6]
 a). Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).
Dasar dari teori ini adalah pembalasan, yang berarti pidana yang dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est), maka oleh karenanya ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya.
Menurut H. L. Packer, teori ini berpendapat bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pilihan-pilahan moralnya masing-masing. Jika pilihannya itu benar ia akan mendapat ganjaran positif seperti pujian, sanjungan, penghargaan dan lain-lain begitu pula sebaliknya jika “salah” maka ia harus bertanggung jawab dengan diberi hukuman atau ganjaran yang negatif.[7]
Penjatuhan pidana yang pada dasarnya merupakan suatu penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, dalam teori ini tidak memperhatikan masa kedepan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat, penjatuhan pidana ini tujuan satu-satunya adalah memberikan pembalasan bagi penjahat.
b). Teori Relatif/Teori Tujuan.
Dalam pemberian sanksi pidana, pemberian macam-macam pidana badan, biasanya dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera secara langsung agar si pelaku tidak melakukan pelanggaran untuk yang kedua kalinya. Efek langsung yang ditimbulkan bisa berupa rasa sakit ataupun rasa malu, jika pidana tersebut dilakukan di depan khalayak ramai sebagai pelajaran baik terhadap pelaku (efek malu) dan rasa takut bagi masyarakat ataupun calon pelaku lainya untuk tidak melakukan hal serupa.
Hal di atas sesuai dengan teori pemidanaan teori relatif (teori tujuan pemidanaan). Dalam teori ini pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.[8]
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai 3 macam sifat, yaitu:
a. Bersifat menakut-nakuti.
b. Bersifat memperbaiki.
c. Bersifat membinasakan.
Sedangkan sifat pencegahan dari teori Relatif ini ada 2 macam, yaitu:
1.      Teori Pencegahan Umum (General Preventive).
Paham teori ini adalah pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar masyarakat menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat, agar masyarakat umum tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu.
Menurut teori ini juga untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan, maka pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka umum.[9] Cara tersebut adalah untuk menakut-nakuti orang-orang (umum) agar tidak berbuat serupa dengan penjahat yang dipidana itu.
2.      Pencegahan Khusus.
Tujuan pidana menurut Teori Relatif yang bersifat Pencegahan Khusus adalah untuk mencegah pelaku kejahatan yang telah di pidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada 3 macam yaitu:
1) Menakut-nakuti.
2) Memperbaikinya.
3) Membuatnya menjadi tidak berdaya.[10]
Sehubungan dengan teori pemidanaan diatas mengenai tujuan pidana dan pemidanaan, kesemuanya menunjukan bahwa tujuan pidana dan pemidanaan tidaklah bisa berdiri sendiri, misalnya untuk pembalasan semata, atau untuk menegakkan tata tertib Hukum masyarakat saja, atau untuk pencegahan saja. [11]



F.  METODE PENELITIAN
A.     Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah masalah hak dan kewajiban suami istri meliputi harta suami istri setelah terjadi perceraian dapat di perhitungkan harta bersama dan menurut hokum dibagi sama pula, didalam hal ini terdapat hutang bersama maka setelah penceraian utang bersama tersebut di selesaikan dalam bentuk jumlah yang sama pula.
B.     Lokasi dan Populasi Penelitian
1.   Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, lokasi penelitian yang di ambil adalah Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Takengon. Pemilihan lokasi ini atas pertimbangan bahwa mengingat kota Takengon merupakan ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang mana ibu kota ini merupakan acuan dan pusat dari pada pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam.
2.   Populasi Penelitian
            Adapun populasi dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait diantarannya:
1.      Jaksa Penuntut Umum
2.      Hakim Mahkamah Syar’iyah
3.      Penyidik (PORLI)
4.      Wilayatul Hisbah
5.      Staf Dinas Syariat Islam
C.    Tehnik Pengumpulan Data
1.      Observasi
Observasi adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan kegiatan pengamatan dan pencatat secara sistematis terhadap gejala yang  tampak  pada objek penelitian.
Observasi merupakan suatu kegiatan pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis gejala-gejala yang diselidiki.
2.      Wawancara.
Wawancara adalah cara pengumpulan data melalui percakapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan yang diwawancarai (interviewee) yang memberi jawaban dari pertanyaan itu.
Wawancara dalam penelitian ini merupakan interview terhadap informan. Wawancara ini dilakukan untuk mencari data yang ada di kantor Mahkamah Syar’iyah Takengon tentang Pelanggaran Qanun Jinayat.
Informan yang di wawancarai dalam penelitian ini antara lain :
Ø  Ketua Mahkamah Syar’iyah Takengon
Ø  Hakim Mahkamah Syar’iyah Takengon
Ø  Kepaniteraan Mahkamah Syar’iayah Takengon
Ø  Kepegawaian dan Jaksa Penutun Umum Mahkamah Syar’iyah Takengon
Ø  Para pihak-pihak yang bersengketa.

D. Sumber Data
Untuk pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.      Data Primer
Data primer adalah data yang berasal dari data asli yang ditulis oleh petugas, mengamati, atau mengerjakan sendiri. Data primer diambil dari hasil wawancara kepada ketua, hakim, kepaniteraan dan pegawaian Mahkamah Syar’iyah Takengon. Jumlah yang diwawancarai adalah 22 orang, yaitu 6 hakim, 6 panitera, 10 pegawai. Dan data obsevasi yaitu berupa hasil observasi keadaan fisik dan struktur mengenai persidangan Jinayat.
2.      Data Skunder
Data Sekunder: diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) guna mendapatkan landasan teoritis berkaitan dengan objek penelitian ini disamping juga dengan menggunakan data dari Mahkamah Syar’iyah Kota Takengon dilokasi penelitian.
E.     Analisa Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan di olah dan dipadukan untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Metode kualitatif adalah satu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu yang dinyatakan oleh responden secara lisan, yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh.
F.        JADWAL PENELITIAN DAN PENULISAN SKRIPSI
Untuk melakukan penelitian ini, penulis memperkirakan waktu yang diperlukan dengan  rincian sebagai berikut :
a.              Pengurusan surat izin: 3 hari
b.             Persiapan penelitian  : 5 hari
c.              Pengumpulan data    : 15 hari
d.             Pengolahan data       : 7 hari
e.              Analisis data             : 10 hari
f.              Penyusunan skripsi   : 30 hari
Jumlah                     : 70 hari


Takengon, 10 Juni 2011
Pelaksana Penelitian



Nasrin Sadmadi )







KERANGKA PENULISAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I .           PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang   Permasalahan
B.     Ruang lingkup dan Tujuan  Penelitian
C.     Metode Penelitian
D.    Sistematika Penulisan
BAB II.           TINJAUAN UMUM  TENTANG SANKSI PIDANA
D.    Jenis-Jenis Sanksi Pidana
E.     Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan
F.     Ketentuan Pidana Dalam Qanun Jinayah
G.    Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
BAB III.         PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN QANUN      JINAYAH        
A.    Faktor Penyebab Kecenderungan Hakim Menjatuhkan Sanksi Pidana Cambuk Pada Pelanggaran Perkara Jinayah
B.     Pengawasan Hakim Terhadap Putusan Perkara Jinayah
C.     Kendala Dalam Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Qanun
BAB IV.         PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran   
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abubakar, Al Yasa’ dan Marah Halim., Hukum Pidana Islam di Aceh, Dinas Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.

Abubakar, Al Yasa’., Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana dan Hukumnya Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalam, Takengon, 2006.
Adami Chazawi, (Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1), PT Raja Grafindo, Jakarta, 2001
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah),  Jakarta,Sinar Grafika, 2004.

Ahmad Wardi  Muslich, Hukum Pidana Islam,  Sinar Grafika, Seranga,  2004
Alvi Syahrin, Ilmu Hukum Pidana dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Sua­tu Pengantar) Pustaka Bangsa Press, 2002.
Djajuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

 Mohd.Din, Stimulasi Pembungaunan Hukum Nasiona Dari Aceh Untuk Indonesia, Unpad Press, Bandung, 2009.

Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005,

Toposantoso,  Membumingkan Hukum Pidana Islam ( Penegakan Syariat Dalam Wacana dan Agenda),  Gemainsani Press Jakarta 2003

Al Yasa’ Abubakar, Syariat Islam di Aceh. Jakarta, Sinar Grafika, 2005
B.  Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam.

Undang-Undang R.I Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  Nomor 13 Tahun 2003 Maisir ( tentang Judi).

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003. tentang Khalwat/Mesum

Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Peraturan Gubenur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan ‘Uqubat Cambuk



[1] Alvi Syahrin, Ilmu Hukum Pidana dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Suatu Pengantar) Pustaka Bangsa Press, 2002, halaman 7 s.8.
[2] H.A Djajuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam  Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarata, 2000,halaman 26 s.d 27.

[3] Abu Ishak asy-syatibi,t.t.:5
[4] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta, Sinar Grafika,2004), halaman 1.
[5] Al Yasa’ Aubakar , Hukuman Penjara Dalam Perspektif  Syari’at Islam Dan Perbaikan lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia”, (Makalah ditulis atas permintaan Panitia, Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, untuk Seminar & Worksop Nasional tentang Peningkatan Pelayanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan ruh Syari’at Islam, Banda Aceh 2 Desember 2008). 
[6] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005. Hal, 10.

[7]  Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1996, Hal.164
[8] Adami Chazawi,( Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1), PT Raja Grafindo, Jakarta, 2001, Hal.158.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hal. 161
[11] Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, Hal. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar